Minggu, 03 Juli 2011

PERGERAKAN PEREMPUAN PASCA KEMERDEKAAN SAMPAI TAHUN 1970-AN

PERGERAKAN PEREMPUAN PASCA KEMERDEKAAN
SAMPAI TAHUN 1970-AN










Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah
Sosiologi gender dan feminisme Tahun Akademik 2010/2011







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2011



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirrabbil ‘allamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul pergerakan perempuan pasca kemerdekaan sampai tahun 1970 - an ini dengan tepat waktu.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan. Penulisan makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah sosiologi gender dan feminisme.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca . kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan guna membuat makalah yang baik lagi dikemudian hari.



Purwokerto, Juni 2011

Penyusun 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : LATAR BELAKANG
BAB II : ISI
A. Gerakan Perempuan Tahun 1945 – 1965
B. Gerakan Perempuan Pasca 1965
BAB III : KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
LATAR BELAKANG


Ketika masa prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan di masa itu. Sementara Cut Nya’ Dien yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah menunjukkan kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah peletak dasar perjuangan perempuan kini.
Di masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis dan memiliki bergaining cukup tinggi. Dan kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde Baru berkuasa. Bahkan mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan perempuan di masa rejim orde baru? Bila mengunakan definisi tradisonal di mana gerakan perempuan diharuskan berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan perempuan ketika itu. Apalagi bila definisi tradisonal ini dikaitkan dengan batasan a la Alvarez yang memandang gerakan perempuan sebagai sebagai sebuah gerakan sosial dan politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang memperjuangkan keadilan gender. Dan Alvarez tidak mengikutkan organisasi perempuan milik pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta organisasi perempuan di bawah payung organisasi lain dalam definisinya ini.

BAB I
ISI

A. Gerakan Perempuan Tahun 1945 - 1965
Dengan proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, perjuangan rakyat Indonesia mencapai zaman baru sama sekali, zaman Republik Indonesia, hasil perjuangan rakyat selama tiga abad lebih dalam membebaskan diri dari penjajahan Belanda dan Jepang. Berbeda dengan pada zaman kolonial memerinci perjuangan wanita dalam berbagai periodisasi, pada zaman baru Republik Indonesia saya tidak lagi menguraikan secara rinci mengenai gerakan wanita diperiode-periode perjuangan wanita melalui Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949), Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1960 - 1965). Karena pada umumnya para Ibu dan Saudara-saudara yang hadir disini telah mengalami sendiri bahkan aktif ikut serta memperjuangkan menegakkan serta mempertahankan Republik kita. Justru saya mengharapkan pertemuan seperti ini dilanjutkan, dimana kita bisa saling belajar dari pengalaman-pengalaman berharga para hadirin yang pasti akan sangat memperkaya pengalaman dan pelajaran bagi perjuangan kita selanjutnya.
Dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno - Hatta, tidaklah berarti bahwa kita sudah mencapai tujuan kemerdekaan rakyat Indonesia, tetapi baru merupakan jembatan emas untuk menuju kebebasan dan kemakmuran rakyat, seperti selalu didengungkan oleh pejuang kemerdekaan Sukarno. Dan kalau melihat situasi tanahair kita pada dewasa ini, tujuan rakyat masih sangat jauh dari jangkauannya.Begitu kemerdekaan tanahair diproklamasikan, mulailah bentrokan-bentrokan senjata terjadi dengan fihak tentara pendudukan Jepang, yang diperintah untuk mempertahankan "status quo" sampai waktu mereka menyerahkan kekuasaan pada Sekutu, jadi berarti bahwa nasib bangsa Indonesia masih berada ditangan penjajah Jepang untuk kemudian dioperkan lagi kepada penguasa/penjajah yang baru. Tàpi rakyat Indonesia sudah bertekad bulat membebaskan diri dari kekuasaan asing.
Dan dilihat dari semboyan-semboyan pada waktu itu a.l. "Sekali merdeka, tetap merdeka", "lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah", Merdeka atau mati". Tanpa komando, tetapi berdasarkan kesadaran dan keyakinan, seluruh rakyat bergolak mempertahankan kemerdekaan tanahairnya. Demikianlah maka terjadi benturan dengan tentara Jepang dimana - mana, melucuti tentara yang sudah turun moril (Karena Jepang sudah menyerah balik kepada sekutu), dan dengan demikian pejuang kemerdekaan memikul senjata untuk mempertahankan kemerdekaan tanah airnya.
Tanggal 29 September 1945 Tentara Serikat (Inggris) mendarat di Jakarta, dipimpin Jendral Chris Tisonn. Namun tanggal 1 oktober 1945 Markas Besar Tentara Jepang di Surabaya sudah menyerah kepada Tentara Rakyat Indonesia setelah bertempur antara tentara Jepang dan rakyat. Dengan demikian, pada tanggal 15 oktober 1945 tentara Inggris (dengan Ghurkanya) yang diboncengi tentara Belanda mendarat di Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Medan dan tempat-tempat lain. Mereka diperintahkan oleh tentara Sekutu, yang menang Perang Dunia II (1938-1945), untuk menerima penyerahan dari Jepang. Panglima tentara Inggris mengumumkan bahwa mereka mewakili Sekutu untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan, tidak akan mencampuri soal politik. Tentara Belanda yang berkedok sebagai tentara Inggris melakukan penembakan-penembakan dan pembunuhan terhadap rakyat Indonesia. Tawanan bekas KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) dipergunakan kembali oleh Belanda untuk melakukan terornya menghadapi menaklukan rakyat Indonesia.
Pertempuran paling dahsyat terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, ketika para pemuda beserta seluruh rakyat Surabaya menolak ultimatum Jendral Mansergh dari tentara Sekutu untuk menyerahkan semua senjata. Awal pecahnya pertempuran ini sekarang dikenal sebagai Hari Pahlawan. Rakyat bertempur pantang menyerah secara sangat heroik melawan tentara Sekuku yang baru keluar sebagai pemenang dari Perang Dunia II. Pada waktu yang bersamaan, 10 November 1945, pemuda-pemuda melangsungkan kongres pertamanya di Jogja menyatakan semangat menyala-nyala akan ikut bertempur di Surabaya selesai kongres, sementara sebagian delegasi Surabaya kembali ke daerahnya. Pemerintah Indonesia selalu mengusahakan taktik diplomasi dan pertempuran silih berganti. Dalam persetujuan Linggarjati Belanda mengakui kekuasaan de fakto Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengadakan Aksi Polisionil ke-I (istilah Belanda) dan pada 19 Desember 1948 melakukan agresinya ke-II dengan menyerbu Ibukota Republik di Jogya. Sekedar lukisan suasana untuk menggambarkan perjuangan para wanita pada waktu permulaan Zaman Kemerdekaan. Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi yang sebelumnya menghambat gerak maju wanita. Penderitaan dan penghinaan selama penjajahan sudah cukup berat, dan kini, sewaktu revolusi urusan-urusan yang tidak pokok tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi wanita pada umumnya di waktu itu mengutamakan usaha-usaha perjuangan, baik di garis belakang dengan mengadakan dapur umum dan pos-pos Palang Merah, maupun di garis depan dengan nama suatu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi-organisasi lain. Timbul laskar-laskar wanita; tugas-tugas mereka sangat luas: di garis depan, di medan pertempuran, melakukan kegiatan intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan ke garis depan, membawa kaum pengungsi, memberi penerangan dll.
Dalam kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik, pergerakan wanita berbenah diriuntuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita Indonesia (perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) dilebur menjadi badan fusi dengan nama Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).
Pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Pada bulan juni 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia di Madiun, yang merupakan Kongres Wanita Indonesia ke-V. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, Kongres memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luarnegeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggauta WIDF (Women's International Democratic Federation). Dijiwai oleh tekad untuk ikut serta dalam pembangunan jaringan kerjasama Internasional, mendukung pergerakan wanita selanjutnya menyusun program-program kerja, yang tidak hanya meliputi bidang pembelaan negara, tetapi juga bidang-bidang sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain sesuai dengan derap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik pada waktu itu.
Secara umum arah perkembangan gerakan wanita sampai tahun 1950 telah mencakup paling tidakhal-hal berikut:
1) Pertama, sebagai kelanjutan dari kecenderungan pada masa sebelumnya, wawasan dan lingkup perhatian organisasi wanita telah meluas tidak hanya pada masalah dan isue wanita saja, tetapi juga ke bidang-bidang lain seperti politik dan pemerintahan.
2) Kedua,muncullah jenis organisasi wanita yang semakin beragam. Selain organisasi-organisasi yang sudah ada sebelumnya seperti organisasi yang berafiliasi pada partai politik dan organisasi yang berazaskan agama, muncul pula organisasi khusus pada kelompok sosial tertentu seperti dikalangan istri Angkatan Bersenjata, dan organisasi profesi. Selain itu, azas demokrasi yang dipercaya sebagai dasar negara yang baru merdeka juga telah mendorong kaum wanita untuk membentuk partai politik agar kepentinngan kaum wanita juga terwakili dan tersalur.
3) Ketiga, ruang gerak organisasi wanita juga semakin meluas, tidak hanya lokal dan nasional tetapi juga internasional, dengan bergabungnya organisasi-organisasi dalam Kowani dengan WIDF.
4) Keempat,sebagai akibat orientasi gerakan yang diambil, kegiatan organisasi-organisasi wanita juga beragam. Yang terakhir ini paling tidak dapat dipisahkan menjadi dua kelompok besar, pertama organisasi-organisasi yang mendasarkan kegiatannya pada kesejahteraan (welfare) yaitu masalah pendidikan, sosial ekonomi, kewanitaan dan kegiatan karitatif; dan kedua organisasi yang berkonsentrasi pada masalah-masalah politik. Kelompok yang disebut pertama jumlahnya lebih besar dari yang kedua, dan mencakup diantaranya organisasi-organisasi yang tergabung dalam Kowani, organisasi-organisasi yang berazaskan agama, organisasi khusus dan organisasi profesi.
Sedangkan yang termasuk kategori kedua yaitu berfokus pada kegiatan politik tidak lebih dari tiga organisasi saja. Di sini terlihat bahwa ciri domestik dan karitatif memang sejak awal telah melekat pada organisasi wanita dan tetap bertahan sebagai ciri utama yang membedakannya dari organisasi massa umum yang didominasi laki-laki.
Sesudah tahun 1950 masalah-masalah politik makin banyak minta perhatian. Bermacam persoalan yang berkaitan dengan masalah penyusunan kekuatan partai-partai politik. Perhatian masyarakat mulai disita oleh persiapan penyelenggaraan pemilihan umum pertama yang akan diadakan pada tahun 1955. Makin banyak kegiatan kaum wanita yang ditujukan kepada masalah-masalah politik, mengingat usaha masing-masing aliran politik untuk tampil sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Tapi tidak dilupakan juga, masalah rutine sebelumnya seperti memperjuangkan peraturan perkawinan yang tidak merugikan kaum wanita. Organisasi-organisasi yang berafiliasi pada partai politik sibuk membantu partai induknya mempersiapkan diri menghadapi pemilu. Kegiatan politik para wanita anggauta organisasi-organisasi bagian wanita partai-partai politik mendorong kaumnya kearah kesadaran politik. Tetapi difihak lain masih perlu dipertanyakan sampai dimana kegiatan-kegiatan mereka dalam menangani masalah- masalah yang sifatnya kewanitaan dan karitatif saja diorganisasinya itu.
Jadi perkembangan yang terjadi iyalah semakin banyaknya organisasi wanita seprofesi seperti Ikatan Bidan Indonesia (1951), Ikatan Guru Taman kanak-kanak (1951), Perhimpunan Wanita Universitas Indonesia (1957) yang namanya kemudian berobah menjadi Ikatan Sarjana Wanita indonesia dsb. Selain itu, mulai muncul pula organisasi dari para isteri, yang suaminya tergabung dalam organisasi profesi, seperti Persatuan istri insinyur Indonesia (1951), Ikatan istri dokter Indonesia (1954), Ikatan istri wartawan Indonesia (1957 dsb. Juga dilingkungan jawatan-jawatan dan departemen pemerintah misalnya: Ikatan Wanita Kereta, IKW, Ikatan Istri Kementrian Penerangan dan beberapa lagi.Organisasi semacam ini lebih bersifat kekeluargaan dan sosial, dibentuk dengan fungsi penunjang profesi dan organisasi profesi suami. Karena itu kegiatan yang dilakukan lebih bersifat perpanjangan peran domestik para isteri tersebut seperti misalnya menangani urusan konsumsi bagi rapat dankegiatan kantor suami piknik keluarga, kursus ketrampilan rumahtangga dan kegiatan2 serupa. Selain itu, organisasi semacam ini juga memainkan fungsi kontrol sosial terutama bagi gerak dan tingkah laku sosial para suami. Sampai tahun 1965 dapat dikatakan bahwa lingkup perhatian dan wawasan kaum wanita cukup luas dan mendunia, disamping merupakan cerminan dari aliran politik ditingkat nasional.
B. Gerakan Perempuan Pasca Tahun 1965 - 1970
Perjuangan ke arah revolusi sosialis belum terlaksana karena pada tahun 1965 seluruh gerakan progesif kerakyatan termasuk Gerwani digerus imperiliasme atau kapitalis internasional dengan menggunakan tangan tentara untuk berkuasa. Tentara ini berjalan sebagai komprador atau antek kolonialis imperialis dengan membunuh dan menghabiskan seluruh kekuatan progressif revolusioner di Indonesia sampai akar-akarnya.
Yang terjadi kemudian, selama kepemimpinan Soeharto, Orde baru berhasil menggunakan Gerwani sebagai bahan propaganda untuk menghancurkan gerakan progresif kerakyatan yang mengusir imperialis kolonialis. Mereka berhasil menyebar propaganda bahwa perempuan yang progresif kerakyatan adalah pelacur, karena berani melawan semuanya. Inilah yang diinginkan oleh Orde Baru sebagai kompradornya rezim imperialis internasional. Mereka tidak menginginkan adanya gerakan progesif revolusioner di Indonesia termasuk perempuaannya. Semua gerakan dijinakkan. Gerakan Perempuan menjadi hanya Kowani, Serikat Buruh menjadi Serikat Pekerja, petani menjadi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), nelayan menjadi HSMI. Semua organisasi ini adalah kompatriot Orde Baru yang diciptakan rezim dan bekerja untuk rezim.
Gerakan Wanita Sosialis (GWS), Wanita Marhaen bisa diterima Kowani asal berganti nama menjadi Gerkana Wanita Sejahtera dan Wanita Demokrat . Bagaimana dengan Gerwani? Tentu anggotanya telah ditangkap, diperkosa dan sebagainya. Akhirnya kooptasi Orde Baru terhadap gerakan perempuan untuk menjadi konco wingking kembali mengkonstruksi habis-habisan pemikiran Kowani. Bangunan feodalisme kembali mewarnai konstruksi berpikirnya perempuan dan berkawin dengan kepentingan kapitalisme internasional untuk mengkomoditisasi tubuh dan tenaga perempuan. Kampanye ini dilakukan melalui majalah-majalah perempuan. Maka konsepsi tentang “peran ganda” atau seharusnya beban ganda perempuan muncul. Tenaga perempuan dijual sekaligus juga tidak melupakan tanggung keluarga sebagai ibu dan istri.
Kita bisa bayangin bagaimana perempuan didefinisikan dalam peran ganda atau beban ganda tepatnya. Perempuan Indonesia tidak hanya sekedar didomestifikasi saja, tapi dieksploitasi. Alih-alih melawan karena dieksploitas, para perempuan yang menjadi manager dan sebagainya justru bangga karena berhasil dalam karya namun tidak lupa dengan urusan rumah tangga. Inilah keberhasilan kapitalisme internasional memanipulasi fisik perempuan yang sebenarnya disodorkan atau sebenarnya dikorbankan untuk kepentingan kapitalisme itu sendiri.
Tidak hitam putih, terwujud atau tidak. Dalam gerakan perempuan sendiri, yang berideologi dari kanan sampai kiri, ada perbedaan apakah perjuangan perempuan sudah terwujud atau belum. Ada kelompok yang menganggap negara sudah memberikan pengakuan persamaan seperti tercantum dalam UUD 1945. Kelompok ini tergolong gerakan perempuan yang konservatif dan cenderung feodal, merasa bahwa Indonesia sudah merdeka, dan persamaan perempuan cukup diatur dalam regulasi. Kelompok ini adalah Perwari yang mungkin didukung oleh yang lain. Tahun 1946, ada Konggres Kowani yang didominasi kelompok konservatif seperti Perwari.
Sementara gerakan perempuan sayap kiri, seperti Istri Sedar yang dianggap bubar pasca kemerdekaan. Kecurigaan saya, mereka tidak bubar, tapi melakukan gerakan bawah tanah melawan penjajah Jepang hingga melawan kedatangan Belanda kembali pada tahun 1947-1949. Kelompok sayap kiri inilah yang menganggap meskipun Indonesia telah merdeka secara politik tapi sebenarnya belum benar-benar merdeka. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya perjanjian kesepakatan seperti Konferensi Meja Bundar, Linggar Jari, Renville yang sangat merugikan Indonesia. Perjanjian KMB misalnya membebankan pampasan perang kepada Indonesia, yang kemudian menjadi utang Indonesia. Ini kan gila, Belanda yang menjajah, kok Indonesia yang harus memberi pampasan perang.
Belanda masih berusaha memecah belah Indonesia dengan membentuk negara-negara boneka. Sebenarnya, itu untuk mengganggu supaya kolonialisme tidak pergi.. Proses peralihan perkebunan kolonial atau tanah-tanah rakyat yang diambil pada masa cultuurstelsel atau tanam paksa juga tidak sepenuhnya dikembalikan. Jadi perusahaan-perusahaan kolonial dan imperialis belum mau pergi, terutama perusahaan migas atau minyak. Saya sebut imperialis karena tidak hanya perusahaan Belanda yang beroperasi tapi konsorsium para kolonial.Situasi inilah yang memberikan kesadaran bagi gerakan progresif bahwa Indonesia belum merdeka, karena secara ekonomi sumber-sumber kekayaan primer masih dikuasai kolonial. Inilah yang membangkitkan kembali perlawan melawan imperialis.
Selain melawan imperialis, Gerwis juga konsen pada pada isu feodalisme yang juga belum hilang setelah kemerdekaan, bahkan kembali membelenggu perempuan. Ini bisa dilihat dari banyaknya elit-elit tani yang melakukan poligami dan lain-lain. Semua situasi ini memunculkan kembali kesadaran revolusioner dan mendorong kembali tumbuhnya organisasi perempuan yang progresif. Lahirlah organisasi perempuan bernama Gerwis yang anggotanya para perempuan yang betul-betul melawan fasisme Jepang dan juga kolonial imperialis.
Pada sekitar tahun 1954 Gerwis menggelar kongres dan mengubah nama menjadi Gerwani. Selain Gerwani, Partai Nasional Indonsia (PNI) juga mempunyai organisasi perempuan, yaitu Wanita Marhaen yang kemudian berubah dengan Wanita Demokrat. Wanita Marhaen juga pecah antara yang konservatif yang didukung oleh borjuasi, feodal serta elitnya, dengan kelompok yang pro rakyat. Dua kekuatan organisasi gerakan perempuan ini (Gerwani dan Wanita Marhaen) yang muncul antara tahun 1950-1960 sangat menarik karena merupakan organisasi massa. Organisasi massa artinya mempunyai basis massa perempuan yang kuat. Organisasi seperti Fatayat atau Aisiyah sebetulnya juga mempunyai basis massa. Yang membedakan, mereka tidak memiliki kesadaran melawan imperialisme. Meskipun, baik Perwari, Aisiyah, Muslimat, Gerwani, Wanita Marhaen bisa bersatu dalam Kowani untuk satu tujuan yakni persamaan perempuan untuk menjawab problem feodalisme. Untuk menjawab krisis ekonomi poltik akibat imperialisme mereka tidak sehaluan. Perwari tidak menganggap imperialisme ada, NU dan Aisiyah tidak mengatakan ada problem imperialisme, sementara Wanita Marhaen, Gerakan Wanita Sosialis (GWS) menganggap ada problem imperialisme, dan Gerwani mengatakan imperialisme bahaya laten.
Untuk menghadapi kembali imperialisme ini, Gerwani bersatu dengan gerakan tani dan buruh melakukan pengambilalihan perkebunan Kolonial atau dikenal dengan nasionalisasi perkebunan untuk diberikan kepada Negara Indonesia. Sayang gerakan pengambilalihan ini belum tuntas karena sumber-sumber ekonomi seperti minyak dan gas belum berhasil direbut.
Saya sempat berbicara dengan salah seorang perempuan yang pada masa pengambilalihan perkebunan itu bekerja di pabrik pemintalan Belanda di Garut, Jawa Barat. Ibu ini bercerita, ia dibantu Gerwani ketika melakukan aksi mogok untuk menuntut upah dan fasilitas yang layak. Gerwani juga membantu melakukan bergaining untuk menuntut kesejahteraan buruh pabrik. Ibu ini juga bilang mereka [buruh pabrik] mengerti persoalan perburuan karena pendidikan yang diberikan Gerwani. Pengambil-alihan perkebunan dan sebagainya inilah yang merupakan tindakan politik yang dilakukan Gerwani dalam rangka mengusir imperialisme. Inilah yang membedakan Gerwani dengan organisasi perempuan lain.
Soekarno sebetulnya juga punya slogan, “Revolusi belum selesai,” dalam arti mengusir imperialis. Soekarno sangat pro Indonesia, tetapi dia sangat terikat dengan problem-problem lain. Indonesia yang mulai harus hutang dan macam-macam, menghadapi tentara yang juga ingin naik ke panggung politik; ini berat. Meskipun agak terhambat, tapi di akhir-akhir kepemimpinannya, Soekarno ingin kekuatan rakyat progresif yang hegemonik di Indonesia. Tapi justru kekuatan inilah yang tidak diinginkan kapitalis internasional.
Kapitalis internasional begitu ketakutan dengan tindakan politik Soekarno yang menggandeng Asia-Afrika. Pada level bawah, kapitalis internasional juga ngeri melihat tindakan politik Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk juga Gerwani dengan basis massa yang kuat. Kekuatan ini menjadi ancaman tersendiri bagi kapitalis internasional yang mempunyai proyek bahwa gerakan progresif kiri kerakyatan harus dihancurkan agar imperialisme tetap hidup. Termasuk Vietnam, RRC, dan Timor Leste adalah sasaran tembak para kapitalis internasional ini.

BAB III
KESIMPULAN

Pada tahun 1950 – 1965 pergerakan perempuan lebih cenderung ke arah gerakan profesi dan gerakanpolitik praktis. Kecenderungan pada organisasi profesi lebih pada mengikuti profesi suami, sehingga hamper setiap organisasi suami akan membentuk organisasi perempuan. Selain itu marak pula organisasi perempuan dalam bidang perpolitikan berdasarkan ideology yang menempel pada partai politik tertentu. Sehingga terjadi pergeseran dari organisasi social kepada kecenderungan menjadi organisasi politik. Sebagai alasan utamanya adalah tetap memperjuangkan aspirasi perempuan melalui parlemen sebagai lembaga legal yang sangat berpengaruh dalam membuat keputusan. Puncaknya terjadi pada tahun 1960 – 1966dimana politik menjadi panglima, sehingga hampir semua partai politik memliki struktur organisasi bagian perempuan. Dalam konflik – konflik pun gerakan perempuan sering ikut tampil di dalamnya sehingga sering kali terjadi benturan sesame organisasi perempuan dalam rangka memperjuangkan aspirasi politik dan ideologinya. Selain itu muncul pula organisasi perempuan non politik yang membentuk wadah Kesatuan Aksi Wanita Indonesia ( KAWI ), yang berjuang menumbangkan orde lama dan menumbuhkan orde baru.
Yang terjadi kemudian, selama kepemimpinan Soeharto, Orde baru berhasil menggunakan Gerwani sebagai bahan propaganda untuk menghancurkan gerakan progresif kerakyatan yang mengusir imperialis kolonialis. Mereka berhasil menyebar propaganda bahwa perempuan yang progresif kerakyatan adalah pelacur, karena berani melawan semuanya. Inilah yang diinginkan oleh Orde Baru sebagai kompradornya rezim imperialis internasional. Mereka tidak menginginkan adanya gerakan progesif revolusioner di Indonesia termasuk perempuaannya. Semua gerakan dijinakkan. Gerakan Perempuan menjadi hanya Kowani, Serikat Buruh menjadi Serikat Pekerja, petani menjadi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), nelayan menjadi HSMI. Semua organisasi ini adalah kompatriot Orde Baru yang diciptakan rezim dan bekerja untuk rezim.  

DAFTAR PUSTAKA


Sepintas Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah. dev.progind.net ( di akses tanggal 08 Juni 2011 )
Perempuan Harus Mengubah Strategi Gerakan. http://herdiansyahblog.blogspot.com ( di akses tanggal 08 Juni 2011 )
Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia. http ://www.scribd.com. ( di akses tanggal 08 Juni 2011 )



Tidak ada komentar: